PEMERTAHANAN BAHASA SUNDA DI DESA MANDALA, SERONGGA
KEC. KELUMPANG HILIR KABUPATEN KOTABARU
PROPOSAL PENELITIAN
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Penelitian Bahasa
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Oleh :
ALDHY
DINATA NIM 2012.12.0904
HERLINDA
SAGITA RIZAL NIM 2012.12.0903
KAMARULLAH
NIM 2012.12.0913
MAYASARI NIM 2012.12.0923
RIZA
RESANTI .K NIM
2012.12.0915
SABANDIKA NIM
2012.12.0926
PROGRAM
STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
SEKOLAH
TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
PARIS
BARANTAI (STKIPPB)
KOTABARU
2013
LEMBAR PERSETUJUAN
PEMERTAHANAN BAHASA SUNDA DI DESA MANDALA, SERONGGA
KEC. KELUMPANG HILIR KABUPATEN KOTABARU
Oleh :
ALDHY
DINATA NIM 2012.12.0904
HERLINDA
SAGITA RIZAL NIM 2012.12.0903
KAMARULLAH
NIM 2012.12.0913
MAYASARI NIM 2012.12.0923
RIZA
RESANTI .K NIM
2012.12.0915
SABANDIKA NIM
2012.12.0926
Disetujui
dan disahkan oleh :
Ketua Program Studi
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Husni
Mubarak, M.Pd
NIK. 2005.09.0035
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Desa Mandala merupakan
daerah yang mayoritas dihuni oleh suku Sunda. Suku sunda menggunakan bahasa
Sunda sebagai bahasa ibu. Suku lain yang menghuni tempat ini adalah suku Jawa,
dan Bali. Suku sunda adalah kelompok etnis yang berasal dari bagian
barat pulau Jawa, Indonesia, yang mencakup wilayah administrasi provinsi Jawa
Barat, Banten, Jakarta, dan Lampung. Suku Sunda merupakan
etnis kedua terbesar di Indonesia. Sekurang-kurangnya 15,41% penduduk Indonesia
merupakan orang Sunda. Mayoritas orang Sunda beragama Islam, akan tetapi
ada juga sebagian kecil yang beragama kristen, Hindu, dan Sunda Wiwitan/Jati
Sunda. Agama Sunda Wiwitan masih bertahan di beberapa komunitas pedesaan suku
Sunda, namun terletak diluar wilayah Kalimantan selatan, seperti di Kuningan
dan masyarakat suku Baduy di Lebak Banten yang berkerabat dekat dan dapat
dikategorikan sebagai suku Sunda.
Jati diri yang mempersatukan orang Sunda adalah
bahasanya dan budayanya. Orang Sunda dikenal memiliki sifat optimistis, ramah,
sopan, dan riang. Orang Portugis mencatat dalam Suma Oriental bahwa orang sunda
bersifat jujur dan pemberani. Karakter orang Sunda yang periang dan suka
bercanda seringkali ditampilkan melalui tokoh populer dalam cerita Sunda yaitu
Kabayan dan tokoh populer dalam wayang golek yaitu Cepot, anaknya Semar. Mereka
bersifat riang, suka bercanda, dan banyak akal, tetapi seringkali nakal. Orang
sunda juga adalah yang pertama kali melakukan hubungan diplomatik secara
sejajar dengan bangsa lain. Sang Hyang Surawisesa atau Raja Samian adalah raja
pertama di Nusantara yang melakukan hubungan diplomatik dengan Bangsa lain pada
abad ke 15 dengan orang Portugis di Malaka. Hasil dari diplomasinya dituangkan
dalam Prasasti Perjanjian Sunda-Portugal.
Secara geografis, tidak ditemukan batas pemisah
antara kampung suku Sunda dengan suku-suku lainnya. Semua suku hidup
berdampingan dalam satu pemukiman. Suku Sunda bersama suku Jawa dan bali
menjaga dengan baik hubungan mereka.
Pada akhirnya antara
ketiga suku yang berbeda tersebut terjadi interaksi dalam kehidupan
sehari-harinya. Bahasa pengantar ketiga suku tersebut bukan bahasa Sunda,
bahasa Jawa ataupun bahasa Bali sebagai bahasa lokal, tetapi mereka memilih
menggunakan bahasa Indondesia. Pada umumnya suku pendatang menggunakan bahasa
ibu atau bahasa asli mereka.
Penelitian memfokuskan penelitian pada pemertahanan
Bahasa Sunda, sebab dilihat dari segi poulasi masyarakat Sunda tidak terlalu
banyak jumlah jiwanya (10 KK) tapi mampu eksis di atas suku pendatang lain yang
populasinya lebih mendominan. Selain itu, penelitian terhadap bahasa Sunda di desa
Mandala Kecamatan Kelumpang Hilir Kabupaten Kotabaru belum pernah dilakukan dan
belum tercatat pada daftar bahasa di desa Mandala. Hal ini juga memotivasi
peneliti dalam upaya mendokumentasikan bahasa Sunda sebagai salah satu bahasa yang
di gunakan di desa Mandala.
Berdasarkan latar belakang di atas, kami
menyimpulkan bahwa kami memilih judul : Pemertahanan Bahasa Sunda di desa
Mandala Kecamatan Kelumpang Hilir Kabupaten Kotabaru.
1.2
Rentang Masalah
Tiga
masalah dasar dalam pemertahanan bahasa yaitu (1) Upaya masyarakat dalam
mempertahankan bahasanya (2) Bentuk bahasa yang dipertahankan (3) Wujud
pemertahanan bahasa. Bagian pertama memfokuskan penelitian pada usaha yang
dilakukan oleh masyarakat bahasa dalam mempertahankan bahasanya. Bagian kedua
memfokuskan penelitian terhadap satuan bahasa yang dipertahankan. Bagian ketiga
memfokuskan penelitian pada kondisi atau keadaan yang sedang berlangsung pada
suatu masyarakat bahasa yang sedang mempertahankan bahasanya.
1.3
Batasan
Masalah
Berdasarkan rentang masalah di atas, peneliti
memfokuskan penelitiannya pada aspek pertama, yaitu upaya masyarakat bahasa
dalam mempertahankan bahasanya. Dalam hal ini upaya masyarakat Sunda dalam
mempertahankan bahasa Sunda di tengah-tengah komunitas warga transmigran.
Pertimbangan dalam mengambil batasan ini adalah
bahwa masyarakat bahasa yang menduduki posisi minoritas suku Sunda, mampu eksis
terhadap masyarakat mayoritas. Meskipun mereka berbaur dengan suku yang
berbeda, tetapi mereka masing-masing tetap mempertahankan bahasa ibunya atau
bahasa daerah asal mereka.
1.4
Rumusan
Masalah
Berdasarkan batasan masalah di atas, maka
peneliti bermaksud menjawab pertanyaan tentang upaya masyarakat Sunda dalam
mempertahankan bahasanya di desa Mandala Kecamatan Kelumpang Hilir Kabupaten
Kotabaru.
1.5
Tujuan
Penelitian
Tujuan penelitian yaitu mendeskripsikan upaya
masyarakat Sunda dalam mempertahankan bahasa Sunda di desa Mandala.
1.6
Manfaat
Penelitian
Hasil penelitian ini dapat bermanfaat teoritis
dan praktis. Secara teoritis, hasil penelitian ini menjadi sumbangan terhadap
teori sosiolinguistik. Sementara secara praktis penelitian ini dapat
dimanfaatkan sebagai dokumen kebahasaan.
BAB II
TINJAUAN
PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI
2.1 Tinjauan Pustaka
2.1.1 Suku Sunda
Untuk memperjelas keberadaan tentang subjek penelitian, maka
berikut dipaparkan tentang hal-hal yang terkait dengan keberadaan suku Sunda.
2.1.2 Sejarah Suku
Sunda
Suku Sunda adalah kelompok etnis yang berasal
dari bagian barat pulau Jawa, Indonesia, yang mencakup wilayah administrasi
provinsi Jawa Barat, Banten, Jakarta, dan Lampung. Suku Sunda merupakan
etnis kedua terbesar di Indonesia. Sekurang-kurangnya 15,41% penduduk Indonesia
merupakan orang Sunda. Mayoritas orang Sunda beragama Islam, akan tetapi
ada juga sebagian kecil yang beragama kristen, Hindu, dan Sunda Wiwitan/Jati
Sunda.
Sunda sebagai nama kerajaan kiranya baru muncul
pada abad ke- 8 sebagai lanjutan atau penerus kerajaan Tarumanegara. Pusat
kerajaannya berada disekitar Bogor, sekarang. Sejarah Sunda mengalami babak
baru karena arah pesisir utara di Jayakarta (Batavia) masuk kekuasaan kompeni
Belanda sejak (1610*) dan dari arah pedalaman sebelah timur masuk kekuasaan
Mataram (sejak 1625).
Menurut RW. Van Bemelan pada tahun 1949, Sunda
adalah sebuah istilah yang digunakan untuk menamai dataran bagian barat laut
wilayah India timur, sedangkan dataran bagian tenggara dinamai Sahul. Suku
Sunda merupakan kelompok etnis yang berasal dari bagian barat pulau Jawa,
Indeonesia. Yaitu berasal dan bertempat tinggal di Jawa Barat. Daerah yang juga
sering disebut Tanah Pasundan atau Tatar Sunda.
Suku Sunda adalah salah satu kelompok orang yang
paling kurang dikenal di dunia. Nama mereka sering dianggap sebagai orang Sudan
di Afrika dan salah dieja dalam ensiklopedia. Beberapa koreksi ejaan dalam
komputer juga mengubahnya menjadi Sudanese (dalam bahasa Inggris).
2.1.3
Makna Sunda
Sunda berasal dari kata Su yang berarti segala
sesuatu yang mengandung unsur kebaikan. “su” artinya adalah abadi atau
sejati, “na”artinya adalah api , dan “da”artinya besar atau agung. Jadi makna
dari Sunda adalah “api abadi yang agung yaitu MATAHARI”.
Orang Sunda meyakini bahwa memiliki etos atau
karakter Kesundaan, sebagai jalan menuju keutamaan hidup. Karakter Sunda yang
dimaksud adalah cageur (sehat), bageur (baik), bener (benar), singer (mawas
diri), dan pinter (cerdas). Karakter ini telah dijalankan oleh masyarakat yang
bermukim di Jawa bagian barat sejak zaman Kerajaan Salakanagara. Nama Sunda
mulai digunakan oleh raja Punawarman pada tahun 397 untuk menyebut ibukota
kerajaan Tarumanegara yang didirikannya. Untuk mengembalikan pamor Tarumanegara
yang semakin menurun, pada tahun 670, Tarusbawa, penguasa Tarumanegara ke-13,
mengganti Tarumanegara menjadi kerajaan Sunda. Kemudian peristiwa ini dijadikan
alasan oleh Kerajaan Galuh untuk memisahkan negaranya dari kekuasaan Tarusbawa.
Dalam posisi lemah dan ingin menghindari perang saudara, Tarusbawa menerima
tuntutan raja Galuh. Akhirnya kawasan Tarumanegara dipecah menjadi dua
kerajaan, yaitu kerajaan Sunda dan kerajaan Galuh dengan sungai citarum sebagai
batasnya.
2.1.4
Pemertahanan Bahasa
Pemertahanan bahasa lazim didefinisikan sebagai
upaya yang disengaja untuk mempertahankan penggunaan bahasa tertentu di tengah
“ancaman” bahasa yang lain.
Pemertahanan bahasa dapat terjadi karena beberapa
faktor, seperti industrialisasi dan urbanisasi atau transmigrasi. Selain itu
salah satu faktor penting pemertahanan sebuah bahasa adalah loyalitas
masyarakat pendukungnya. Dengan loyalitas itu, pendukung suatu bahasa akan
tetap mewariskan bahasanya dari generasi ke generasi.
Ada tiga faktor utama yang berhubungan dengan
keberhasilan pemertahanan bahasa. Pertama, jumlah orang yang mengakui bahasa
tersebut sebagai bahasa ibu mereka. Kedua, jumlah media yang mendukung bahasa
tersebut dalam masyarakat, (sekolah, publikasi, radio, dan lain-lain). Ketiga,
indeks yang berhubungan dengan jumlah orang yang mengakui dengan perbandingan
total dari media-media pedukung.
Klasifikasi situasi bahasa menurt Miller yang hidup
lestari, sakit-sakitan, atau bahkan mati dan punah bergantung pada apakah
anak-anak mempelajari bahasa ibunya, apakah penutur orang dewasanya berbicara
dengan sesamanya dalam seting yang beragam menggunakan bahasa ibu tersebut, dan
berapa jumlah penutur asli bahasa ibu yang masih ada.
Sementara Soemarsono menemukan hal lain faktor penyebab suatu bahasa bisa bertahan yaitu faktor toleransi dan geografi. Faktor tersebut dinyatakan sebagai hasil penelitiannya
terhadap pemertahanan bahasa Melayu Loloan di Bali. Menurutnya, warga Bali
memiliki sikap toleran yang besar terhadap masyarakat Melayu Loloan. Mereka
tidak segan menggunakan bahasa Melayu untuk berkomunikasi dengan masyarakat
Loloan. Secara geografis, letak pemukiman masyarakat Loloan terpisah dengan
pemukiman masyarakat Bali. Keadaan seperti ini mendukung bertahannya bahasa
Melayu Loloan dari desakan bahasa Melayu.
2.1.5 Upaya Pemertahanan Bahasa secara Umum
Dadardana mengatakan bahwa pemertahanan juga
dapat diartikansebagai upaya yang disengaja untuk mempertahankan
penggunaan bahasa tertentu di tengah “ancaman” bahasa yang lain”. Upaya untuk
mempertahankan bahasa itu dapat diwujudkan dalam bentuk diversitas kultural, memelihara identitas etnis,
menjaga adaptabilitas sosial, dan meningkatkan kepekaan linguistis serta secara
psikologis dapat menambah rasa aman bagi anak
Sementara beberapa penelitian terkait pemertahanan bahasa menghasilkan simpulan
tentang upaya pemertahanan bahasa di antaranya adalah sebagai berikut.
1) Upaya
dari Penutur Sendiri
Upaya dari
penutur tiada lain adalah loyal berbahasa dengan bahasanya sendiri. Loyalitas penutur bahasa sangat menentukan
keberhasilan dalam pemertahanan bahasa. Hal ini pernah disinggung oleh Fisman bahwa salah satu faktor penting pemertahanan
sebuah bahasa adalah adanya loyalitas masyarakat pendukungnya. Dengan loyalitas itu, pendukung suatu bahasa akan
tetap mewariskan bahasanya dari generasi ke generasi. Fauzi sendiri membukitkan
pernyatan Holmes tersebut, dia
meneliti Pemertahan Bahasa Banjar di Komunitas Perkampungan Dayak.
Hasil penelitiannya
menunjukkan bahwa bahasa Banjar memiliki prestise lebih dibandingkan dengan bahasa bahasa Dayak. Dengan prestise tersebut, sikap
loyalitas penuturnya semakin tinggi pada setiap penutur. Loyalitas terhadap bahasa inilah
yang terus dipertahankan,
sehingga bahasa
Banjar mampu
bertahan terhadap bahasa
Dayak.
2) Upaya
dari Pemerintah Setempat
Upaya seperti ini pernah diterapkan oleh Pemerintah daerah Sunda
sebagai upaya untuk melestarikan bahasa Sunda. Pemerintah Daerah mengeluarkan suatu peraturan
bahwa (1) Perda Nomor 5 Tahun 2003 tentang pemeliharaan bahasa, sastra dan
aksara daerah, (2) Perda Nomor 6 Tahun 2003 tentang pemeliharaan kesenian, dan
(3) Perda Nomor 7 Tahun 2003 tentang pengelolaan kepurbakalaan, kesejarahan,
nilai tradisional dan museum. Tiga serangkai perda di atas ditandatangani
Gubernur Jawa Barat pada 13 Januari 2003 dan merupakan fondasi kebijakan
perencanaan bahasa yang menempatkan bahasa daerah sebagai bagian tak
terpisahkan dari strategi atau politik kebudayaan daerah. Dengan usahan dan
dukungan penuh dari pemerintah dapat
membantu suatu bahasa tetap bertahan.
3) Upaya
dari Instansi Pendidikan
Pendidikan sebagai suatu wadah
pembentukan pribadi dan karekter manusia, termasuk penanaman sikap berbahasa,
berpotensi untuk ikut mempertahankan bahasa. Jika suatu bahasa dimasukkan ke
dalam kurikulum sekolah, maka sikap baik dan loyal terhadap bahasa tersebut
akan timbul. Hal semacam inilah yang banyak dilakukan oleh instansi pendidkan
di Jawa dalam rangka melestarikan dan mempertahankan bahasa.
4) Upaya
dari Perusahaan
Perusaahaan dalam hal
ini media masa, di beberapa tempat dijakan
sebagai sebuah pembubliksian suatu bahasa. Sebab bagi sebagian daerah faktor
publikasi media massa seperti koran, radio dan TV, ternyata ampuh dalam memperatahankan bahasa. Bahasa Sunda adalah bukti nyata.
Bahasa Sunda, selain memiliki penutur yang
loyal terhadap bahasanya juga akrab dengan media massa. Bahasa Sunda
juga Banyak melakukan penerbit yang mengkhususkan
menerbitkan buku-buku yang berbahasa Sunda seperti Kiblat Buku Utama dan Geger Sunten.
5) Upaya
dari Orang Tua dan Tokoh Masyarakat
Orang tua dan tokoh masyarakat
memliki peran yang penting dalam mempertahankan suatu bahasa. Sehinga
banyak daerah yang mampu mempertahankan bahasanya akibat upaya dari orang tua
dan tokoh masyarakat tersebut. Upaya dari orang tua berwujud
pengajaran suatu bahasa kepada anak-anaknya, sedangkan upaya dari tokoh
masyarakat berwujud penggunaan bahasa daerah pada setiap upacara adat dan
keagamaan.
2.2 Landasan Teori
2.2.1 Pengertian Pemertahanan Bahasa
Pemertahanan bahasa merupakan proses yang dapat
terjadi pada suatu bahasa sebagai kode
yang bersifat dinamis. Karena kode-kode itu tidak pernah lepas antara yang satu
dengan yang lainnya, maka bahasa dapat mengalami perubahan. Pemertahanan bahasa
menyangkut masalah sikap atau penilaian terhadap suatu bahasa untuk tetap
menggunakan bahasa tersebut di tengah-tengah bahasa lainnya.
Pemertahanan bahasa diartikan
sebagai keadaan yang menunjukkan bahwa masyarakat secara bersama-sama memutuskan untuk
terus melanjutkan menggunakan bahasanya di suatu daerah. Sumarsono menambahkan
bahwa pemertahanan bahasa terjadi dalam jangka panjang (paling tidak tiga
generasi) dan bersifat kolektif (dilakukan oleh seluruh warga
guyup). Dalam pemertahanan bahasa, guyup itu secara kolektif
menentukan untuk melanjutkan memakai bahasa yang sudah biasa dipakai. Ketika
guyup tutur memilih bahasa baru di dalam ranah yang semula diperuntukkan untuk
bahasa lama, itulah mungkin merupakan tanda bahwa pergeseran sedang
berlangsung. Jika para warga itu monolingual (ekabahasawan) dan secara kolektif
tidak menghendaki bahasa lain, mereka jelas mempertahankan pola penggunaan
bahasa mereka.
2.2.2 Upaya pemertahanan
Upaya
pemertahanan bahasa dalam penelitian ini dimaknai
sebagai segala sesuatu yang dilakukan oleh masyarakat tutur untuk
mempertahankan penggunaan bahasa tertentu dalam komunikasi di antara mereka.
Pembahasan upaya dapat digolongkan menjadi dua, yakni pihak yang melakukan
upaya dan bentuk upaya yang dilakukan.
Pihak yang melakukan upaya
dapat dibedakan menjadi dua, yakni internal maupun eksternal. Yang dimaksud
dengan pihak internal adalah orang atau lembaga yang berupaya mempertahankan
penggunaan suatu bahasa yang berasal dari komunitas tutur. Sementara pihak
eksternal adalah orang atau lembaga yang berada di luar masyarakat tutur.
Bentuk upaya pemertahanan
dalam penelitian ini dimaknai sebagai usaha, yang bersifat nyata atau abstrak,
yang dilakukan sehingga penggunaan bahasa tertentu dapat lebih eksis daripada
bahasa lain. Bentuk upaya yang dapat dilakukan oleh pihak-pihak tersebut adalah
sebagai berikut.
1) Pemeliharaan
identitas etnis
Pemeliharaan identitas etnis
adalah upaya yang dilakukan oleh masyarakat tertentu untuk mempertahankan adat
budaya yang mereka miliki. Pemeliharaan identitas etnis dapat diwujudkan dengan
dua model, yakni (1) hanya melaksanakan adat budaya milik sendiri dan mengabaikan
adat budaya masyarakat lama, dan (2) melaksanakan adat budaya milik komunitas
sendiri, tetapi juga ikut serta dalam pelaksanaan adat budaya masyarakat
setempat.
Model pertama, masyarakat
pendatang menjaga jarak dengan budaya masyarakat setempat. Hal ini dapat saja
menimbulkan konflik dengan masyarakat lama, tetapi dapat juga tidak. Hal
tersebut sangat dipengaruhi/ditentukan oleh karakter/sikap masyarakat setempat
dalam dan pendekatan masyarakat pendukung terhadap masyarakat setempat/lama. Contoh
pemeliharaan identitas etnis ini adalah penggunaan bahasa daerah tertetntu
(Madura) ketika berada di kalangan pengguna bahasa yang lain.
Sebaliknya model kedua,
meminta masyarakat pendatang untuk lebih menunjukkan toleransinya. Hal ini
mengakibatkan bertambahnya kegiatan yang harus dilakukan oleh masyarakat
pendatang, ketika terjadi interaksi budaya dengan budaya masyarakat setempat.
Sebagai contoh adalah masyarakat Budha di Jawa yang ikut melakukan
“sedekah” menjelang Idul Fitri.
2) Adaptasi sosial
Upaya ini dilakukan oleh
masyarakat pendatang sebagai wujud toleransi terhadap budaya masyarakat
setempat.
Adaptasi dimaknai sebagai
terjadinya penggabungan budaya dari masyarakat pendatang dan masyarakat
setempat. Adaptasi tersebut dapat bersifat parsial maupun mutlak. Adapatasi
yang bersifat parsial berbentuk penambahan kegiatan adat budaya pada masyarakat
pendatang. Penambahan itu dilakukan dengan mengambil sebagian adat dari
masyarakat lama. Contohnya, kegiatan selamatan yang dilakukan umat Islam.
Kegiatan tersebut merupakan adaptasi terhadap budaya Hindu yang dilakukan
sebagai penghormatan terhadap dewanya. Sementara doa-doa menggunakan doa-doa
yang mengambil dari ayat-ayat Al-Qur’an. Cara kedua adalah mengawinkan
dengan budaya masyarakat lama.
Penggabungan tersebut dapat
mengakibatkan munculnya wujud budaya yang baru. Wujud budaya merupakan bentukan
baru yang berbeda dengan adat setempat maupun adat dari kaum pendatang.
Biasanya penggabungan ini dilakukan atas inisiatif masyarakat pendatang. Bagi
masyarakat yang lama hal ini dianggap sebagai pergeseran budaya akibat
pertemuan dua budaya, dan bentuk toleransi terhadap warga baru, sebagai contoh,
penggunaan bahasa Pecinan.
3) Pemerolehan bahasa
Salah satu upaya pemertahanan
yang bersifat linguistik adalah pemerolehan bahasa. Orang tua menggunakan
bahasa daerah etnis orang tua sebagai “bahasa ibu” pada anak-anak
mereka. Berbagai faktor yang melatarbelakangi keadaan tersebut.
Dengan menggunakan bahasa
daerah menyebabkan anak-anak harus menguasai lebih dari satu bahasa, ketika
nantinya mereka berinteraksi dengan masyarakat pengguna bahasa yang lain. Namun
seringkali itu tidak menjadi hambatan yang terlalu penting daripada untuk
menjaga persatuan dan keutuhan komunitas.
4) Kebiasaan berbahasa
Jika pada pemerolehan bahasa,
upaya tersebut bersifat genetis, artinya, terjadi pada generasi yang berbeda,
maka pada bagian ini dapat dilakukan pada generasi yang sama. Kebiasaan
berbahasa ini lebih menekankan pada aspek untuk kemudahan memproduksi dan
memahami unsur bahasa. Selain itu juga ada anggapan bahwa nilai rasa penggunaan
bahasa tertentu lebih sesuai dengan keinginan pengguna daripada jika harus
menggunakan bahasa yang dirasanya kurang familier. Dengan kata lain, kebiasaan
ini dilakukan untuk mengakrabkan para partisipan tuturnya.
5) Peningkatan kepekaan
linguistis
Yang dimaksud dengan
peningkatan kepekaan linguistis adalah upaya yang dengan sengaja dilakukan
untuk meningkatkan sensitivitas rasa linguistis. Hal ini mudah ditemui pada
kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat tutur bahasa Indoensia ketika berada di
luar negeri. Selain mereka bermaksud untuk
menimbulkan rasa sebangsa, mereka juga memberikan pembelajaran pada anak-anak
mereka yang lahir atau tinggal di luar negeri sejak kecil. Penggunaan bahasa
Indonesia diharapkan dapat membuat anak-anak mereka mengenal dan meningkatkan
kemahiran berbahasa Indonesia.
6) Rasa aman bagi anak
Upaya lain dilakukan dengan
maksud untuk memberikan rasa aman bagi anak-anak dari masyarakat tutur tertentu
ketika berada di komunitas tutur baha lain. Sebagai contoh, anak-anak yang
belum mampu menguasai bahasa kedua akan ketakutan atau menarik diri ketika
diajak menggunakan bahasa lain. Sementara jika orang tua/guru menggunakan bahasa
daerah yang dikuasainya, maka anak akan mempunyai pemahaman yang selanjutnya
merasa aman karena merasa tidak berada dalam lingkungan yang asing.
7) Loyalitas berbahasa
Upaya ini biasanya bersifat
internal dari dalam diri si penutur. Kebanggaan sebagai bagian dari etnis
tertentu menyebabkan penggunaan bahasa yang berbeda dengan bahasa dalam
komunitas setempat.
Sebagai contoh adalah bahasa
Indonesia yang digunakan oleh seseorang yang berbicara di depan forum
internasional, walaupun sebenarnya dia mampu menggunakan bahasa Inggris.
8) Peraturan daerah
Dalam upaya pelestarian
budaya, beberapa daerah di Indonesia mengeluarkan peraturan daerah
untuk menggunakan bahasa daerah dalam wacana-wacana tertentu. Hal ini tentu
saja dapat meningkatkan peran bahasa daerah dalam penggunaannya. Sebagai
contoh, penggunaan bahasa sunda atau bahasa banjar yang diatur oleh peraturan
daerahnya.
9) Kurikulum
Memasukkan pembelajaran bahasa
tertentu kedalam kurikulum sekolah merupakan cara yang cukup efektif untuk
mempertahankan bahasa tertentu. Selain subjek didik yang mempelajari sejak usia
muda tetapi juga mendorong orang tua untuk membantu dan membimbing anak-anak
untuk menguasainya. Dengan demikian, bahasa tersebut dapat lebih bertahan
daripada bahasa yang lain. Hanya saja perlu diwaspadai
tentang materi yang diberikan. Banyak pembelajaran bahasa tertentu (daerah)
yang hanya bersifat untuk memenuhi syarat pembelajaran bahasa tetapi tidak
memberikan keterampilan berbahasa yang sebenarnya. Materi yang diberikan
bersifat pengetahuan bahasa, buka ketererampilan berbahasa. Jika hal ini
dilakukan terus menerus dan tidak diperbaiki maka bahasa daerah tersebut juga
hanya menjadi pelajaran yang bersifat hafalan saja tetapi tidak pernah
diterapkan.
10) Media massa
Upaya yang cukup efektif dan
efisien juga dapat dilakukan dengan menggunakan media massa, baik cetak maupun
elektronik. Upaya ini telah dilakukan untuk pemertahanan bahasa Sunda.
Program-program radio di Jawa Barat, banyak menggunakan bahasa Sunda. Hal ini
tentu membuat pengguna lebih akrab dan merasa familier dengan penggunaan bahasa
Sunda.
BAB
III
METODOLOGI
PENELITIAN
3.1 Rancangan Penelitian
Berdasarkan tujuan yang ingin
dicapai dalam penelitian ini yakni upaya yang dilakukan oleh mayarakat Sunda
dalam mempertahankan bahasa Sunda di desa Mandala, maka penelitian ini
digolongkan ke dalam penelitian deskriptif kualitatif. Suatu
penelitian digolongkan ke dalam penelitian deskriptif jika suatu penelitian
hanya berusaha untuk mendeskripsikan fenomena-fenomena alam yang terjadi.
Rancangan penelitian
deskriptif ini
mempunyai karakteristik sebagai berikut.
1)
Untuk memperoleh informasi aktual yang terjadi pada
saat penelitian dilakukan, yakni tentang upaya yang dilakukan masyarakat Sunda
dalam mempertahankan bahasa Suna.
2)
Penelitian tidak untuk menguji
hipotesis, karena penelitian ini hanya dimaksudkan untuk mendeskripsikan upaya
masyarakat secara alami atau tanpa rekayasa.
3.2 Populasi dan Sampel
3.2.1 Populasi
Populasi adalah keseluruhan
subjek penelitian. Populasi dapat diartikan sejumlah kasus yang memenuhi
syarat-syarat tertentu yang berkaitan dengan masalah penelitian. Populasi dalam penelitian ini
adalah seluruh masyarakat Sunda yang menetap di desa Mandala, Serongga Kec
Kelumpang Hilir. Kotabaru.
3.2.2 Sampel
Sampel adalah sebagian atau
wakil populasi yang diteliti. Sampel merupakan sebagian anggota populasi yang
menjadi subjek penelitian atau yang terlibat dalam penelitian. Adapun teknik
pengambilan sampel yang akan peneliti pakai dalam penelitian ini adalah
teknik probability sampling, model startified
sampling. Probability sampling mengacu pada cara pengambilan sampel yang
memberikan kesempatan kepada seluruh anggota populasi untuk diangkat sebagai
atau menjadi anggota sampel. Kemudian, yang dimaksud dengan startified sampling
adalah pengambilan sampel dari populasi berstrata.
Teknik ini sengaja dipilih
dengan alasan bahwa seluruh populasi penelitian, bersifat homogen, ikut serta
dalam pemertahanan bahasa, juga dalam setiap golongan baik berupa usia, status
soial, keluarga, dan lain-lain akan mempengaruhi pemertahanan bahasa. Model
startified sampling dipilih karena dalam pengambilan data dari responden,
peneliti harus memperhatikan strata-strata tertentu. Adapun informan penelitian
ini adalah Kepala Dusun desa Mandala, Tetua Adat, Kepala Keluarga,
Ibu-ibu, dan warga.
3.2.3 Lokasi
dan Waktu Penelitian
Penelitian
dilaksanakan di desa Mandala, Serongga, Kec Kelumpang Hilir. Kotabaru. Pada
tanggal 13 hingga 15 Desember 2013.
3.3 Jenis dan Sumber Data
3.3.1 Jenis Data
Penelitian yang tergolong
dalam jenis penelitian deskriptif kualitatif ini memerlukan data-data verbal
yang dihasilkan dari hasil wawancara dan observasi. Data dalam penelitian ini
berwujud keterangan tentang berbagai upaya yang dilakukan untuk mempertahankan
penggunaan bahasa Sunda oleh penggunanya.
3.3.2 Sumber Data
Sumber data adalah subjek dari
mana data dapat diperoleh. Peneliti menggolongkan sumber data
menjadi tiga yaitu person (orang), place (tempat),
dan paper (simbol). Terkait dengan ini, sumber data yang akan
menjadi pedoman dalam penelitian ini adalah memanfaatkan sumber data person dan paper.
Sumber data person adalah sumber data yang bisa memberikan
data berupa jawaban lisan melalui wawancara atau jawaban tertulis melalui
angket. Sedangkan sumber data paper adalah sumber data yang
menyajikan tanda-tanda berupa huruf, angka yang menunjukkan
demografi desa Mandala.
Cukup beralasan mengapa peneliti
memakai sumber data yang dua di atas, sebab person menjadi
responden langsung dan paper akan menjadi bukti
pendukung tentang pemertahanan bahasa Sunda di Serongga.
Adapun narasumber dalam
penelitian ini adalah :
1. Kepala dusun
2. Tetua Adat
3. Tokoh kampung
4. Bapak-bapak dan ibu-ibu
5. Warga desa Mandala
3.4 Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian adalah
alat atau cara yang digunakakan untuk mendapatkan data atau informasi yang
dibutuhkan dalam suatu penelitian (Farkhan, 2007: 38). Secara langsung, dalam
hal ini penelitilah yang menjadi instrumen utama yang dibantu dengan hasil
wawancara, observasi, dan kuesioner.
3.5 Teknik Pengumpulan Data
Peneliti mengumpulkan data
dengan menggunakan teknik wawancara, dan observasi. Wawancara dilakukan oleh peneliti untuk memperoleh
informasi dari informan. Wawancara dilakukan
secara formal dan informal. Secara formal, wawancara didasarkan pada pedoman
daftar tanyaan, dan dilakukan dengan
persetujuan dan kesadaran dari pihak informan untuk memberikan jawaban atas
pertanyaan yang diajukan. Sementara wawancara secara informan dilakukan secara
insidental berdasarkan pada fakta yang terjadi, tanpa perencanaan sebelumnya.
Wawancara informal digunakan untuk lebih menegaskan data yang telah
didapat.
Kegiatan observasi digunakan untuk
mendapatkan data yang bersifat visual yang mengandalkan keterlibatan
peneliti baik secara langsung maupun tidak langsung, dengan objek yang sedang
diteliti. Dalam
hal ini peneliti melakukan pencatatan dan pendokumentasian kegiatan penggunaan
bahasa Sunda di desa Mandala.
Kegiatan ini juga dilakukan untuk memperkuat data yang didapat melalui
wawancara.
3.6 Teknik
Pengolahan Data
Data yang telah dikumpulkan,
baik berupa data verbal maupun data visual, diolah dengan tahapan sebagai
berikut :
1) Penyeleksian
Seleksi ini dimaksudkan untuk
mereduksi data yang dianggap kurang sesuai dengan tujuan penelitian ini.
2) Pengklasifikasian
Setelah data diseleksi, maka
dilakukan analisis terhadap data. Analisis ini dilakukan dengan melakukan
klasifikasi data. Klasifikasi ini didasarkan pada landasan teori yang telah
ditetapkan. Namun demikian, tetap dimungkinkan terjadinya pengklasifikasian
baru, jika memang didapatkan data dengan klasifikasi yang berbeda dengan
landasan teori yang ditetapkan.
3) Pembahasan
Analisis berikutnya dilakukan
dengan melakukan pembahasan berdasarkan klasifikasi yang telah dilakukan.
Pembahasan dilakukan dengan meninjau data berdasarkan landasan teori yang telah
ditetapkan. Pada bagian dilakukan pemaknaan terhadap data yang didapat,
sehingga data tersebut dapat menjawab permasalahan penelitian ini.
3.7 Penyajian Data
Hasil analisis data disajikan
secara deskriptif. Artinya hasil penelitian
dipaparkan secara parafrase. Paparan tersebut terkait dengan upaya-upaya masyarakat
suku Sunda dalam mempertahankan bahasa Sunda.
DAFTAR PUSTAKA
Chaer, Abdul dan Leonie Agustina.
2004. Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta:
Rineka Cipta.
Fasold, Ralph. 1984. The Sociolinguistics of Society.
Oxford: Basil Blackwell.
Fishman, Joshua A. 1972. Sociolinguistics
a Brief Introduction. Third printing.
Massachusetts: Newbury House Publisher.
Holmes, Janet. 1994. An Introduction to Sociolinguistics.
London: Longman.
Pride and Holmes. 1972. Sociolinguistics. Middlesex: Penguin
Books.
Seminar Nasional Sosiolinguistik, 2006. Pergeseran Bahasa Ibu dalam Konteks
Komunikasi
Global dan Implikasinya Bagi Strategi Pemberdayaan Bahasa. Semarang:
Unnes Press.
Soetomo, Istiati. 1994. Kuliah
Sosiolinguistik Hand – Out. Semarang: Fakultas
Sastra
UNDIP.
Sumarsono. 2011. Sosiolinguistik. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Ayatrohaedi, Bahasa Sunda Di Daerah Cirebon, 1985, XXVIII +
367 hal. Penerbit Balai Pustaka.
keren :)
BalasHapus